Uniknya Ajaran Kerokhanian Sapta Darma di Desa Tegalbang


Kepercayaan terhadap Tuhan Yang Maha Esa sebagai budaya spiritual merupakan warisan Bangsa Indonesia. Sebagai kebudayaan rohaniah, kepercayaan terhadap Tuhan yang Maha Esa yang telah lama dihayati oleh nenek moyang Bangsa Indonesia. Religi yang menjadi ciri utama dari kebudayaan spiritual itu telah berakar dari kebudayaan nenek moyang kita jauh sebelum agama-agama yang ada dan diakui di Indonesia. Dengan demikian dapat dikatakan bahwa kepercayaan terhadap Tuhan Yang Maha Esa sebagai budaya spiritual adalah merupakan bagian dari kebudayaan nenek moyang kita dan telah lama menunjukkan eksistensinya.
Seperti halnya yang terjadi di Desa Tegalbang, Kecamatan Palang, Kabupaten Tuban meskipun warganya dominan beragama Islam namun disini juga ada kepercayaan lain yakni Ajaran Kerokhanian Sapta Darma. Mungkin keyakinan ini sangat asing ditelinga kita, namun hal ini menjadi keunikan tersendiri di Desa Tegalbang. Masyarakat disini tidak mempermasalahkan tentang keyakinan ini, mereka justru hidup rukun dan damai tanpa harus membeda-bedakan.
Ajaran Kerokhanian Sapta Darma sebagai salah satu aliran kepercayaan terhadap Tuhan Yang Maha Esa yang lahir di tengah-tengah masyarakat Indonesia. Setelah Proklamasi Kemerdekaan 17 Agustus 1945, di tengah situasi krisis Bangsa untuk mempertahankan kemerdekaan. Turunnya Wewarah Kerokhanian Sapta Darma merupakan kehendak mutlak dari Yang Maha Kuasa dan bukan rekayasa, atau racikan orang-perorangan melainkan asli diterima oleh putra Bangsa Indonesia yaitu Bapak Hardjosopoero yang selanjutnya dikenal dengan nama atau gelar panutan Agung Sri Gutama pada tanggal 27 Desember 1952 di Pare, Kediri, Provinsi Jawa Timur.
“Dalam menunaikan tugas menyebarkan Ajaran Agama Sapta Darma, Bapa Penuntun Agung Sri Gutama menggunakan beberapa cara menurut situasi, kondisi setempat dengan cara selaras dan serasi sesuai budaya pribadi bangsa Indonesia, dengan semboyan “RAWE-RAWE RANTAS MALANG-MALANG PUTUNG” diantaranya, melaksanakan tugas perawatan di tempat-tempat keramat secara terbuka sehingga warga masyarakat secara langsung dapat mengetahui, melalui ceramah-ceramah yang terus menerus dilakukan di seluruh pelosok Tanah Air Indonesia, dan yang terakhir dengan jalan Sabda Usada yaitu penyembuhan di jalan Tuhan dengan memberikan pertolongan kepada orang-orang yang menderita atau dalam kegelapan setelah mereka sembuh dari penderitaan/kegelapan, lalu sebagian mengikuti jejak dan perjalanan Bapa Panutan Agung Sri Gutama, melaksanakan Ajaran Agama Sapta Darma”, ungkap Sutono Ketua Sapta Darma Desa Tegalbang.
Lebih lanjut, dalam usaha mengembangkan Ajaran Agama Sapta Darma banyak sekali rintangan, penderitaan, ejekan, cemoohan, pengorbanan perasaan yang dialami Bapa Agung Sri Gutama beserta warga pengikutnya. Namun semua itu diterima dengan penuh ketenangan, kesabaran serta kegembiraan. Hanya berkat ketabahan itulah akhirnya Ajaran Agama Sapta Darma berkembang subur dan cepat. “Pesan dari Bapa Panutan Agung Sri Gutama kepada warga maupun tuntunan, meski banyak rintangan agar dihadapai dengan penuh ketegangan dan kesabaran, sebab rintangan itu semuanya adalah pupuk, serta menguji ketabahan, kesadaran dan keyakinan kita tanpa rintangan-rintangan tak akan bisa mencapai Satria Utama yang berbudi luhur” bebernya.
Ajaran Agama Sapta Darma diterima oleh Bapa Panuntun Agung Sri Gutama di Bumi Nusantara setelah tujuh tahun merdeka seperti seorang anak yang berumur tujuh tahun sudah waktunya wajib belajar yang telah mampu untuk menerima pelajaran. Demikian juga halnya Bangsa Indonesia yang telah mengalami kemerdekaan tujuh tahun maka diperkuat dengan diberkati dan dirahmati oleh Allah Hyang Maha Kuasa berupa Wahyu Ajaran Agama Sapta Darma. “Wahyu Ajaran Agama Sapta Darma adalah wahyu mekanis yang artinya begitu wahyu diterima otomatis harus dilaksanakan, tidak boleh ditunda-tunda”, terangnya
Dalam masa pembangunan Bangsa Indonesia, khususnya pembangunan manusia Indonesia seutuhnya, inilah sasaran utama penyebaran Ajaran Agama Sapta Darma yang telah dikehendaki, supaya dapat terwujud kata-kata dari nenek moyang yang berbunyi “JAWA JAWI BALI MENYANG JAWANE”, yang artinya semula manusia Indonesia adalah manusia yang mengerti (jiwa) yang luhur budinya, merdeka hidupnya, tidak dijajah. Maka dengan memahami, menghayati dan mendamarkan Ajaran Agama Sapta Darma diharapkan bangsa Indonesia kembali menjadi manusia yang bebas merdeka baik jasmani maupun rohaninya, luhur budi pakartinya, bahagia hidupnya lahir dan batin. Dengan Ajaran Ketuhanan Yang Maha Esa yang wahyunya diturunkan di Bumi Nusantara yakni Ajaran Agama Sapta Darma, manusia akan dapat membuktikan wasiat kata-kata dari nenek moyang yang berbunyi “JAWA JAWI MANGERTI MATA SAWIJI”. Maksudnya apabila manusia indonesia (jawa) telah kembali menjadi manusia Indonesia yang mengerti (jawa) dan akan dapat menggunakan satu (mata sawiji : Jawa) yang tidak rusak, yaitu alat kewaspadaan pribadi (kawaskithan : Jawa) untuk dapat mengetahui sesuatu yang telah terjadi dan yang akan terjadi.
Pada tanggal 7 Mei 1957 rombongan panuntun Agung Sri Gutama berada di Tuban untuk melakukan tugas peruwatan di makam-makam Ronggolawe seperti Den Bagus Dulrahman, Danurwendo, Sunan Bonang, Sunan Bejagung, dan lainya. “Sementara itu masuknya Ajaran Kerokhanian Sapta Darma di Desa Tegalbang pada tahun 1958, saat itu mbah Sumani yang sedang sakit keras, diruwat atau disembuhkan oleh penganut Ajaran Kerokhanian Sapta Darma lalu dengan ajaibnya bisa sembuh, lalu dari situlah ajaran tersebut mulai berkembang”, ujar pria paruh baya tersebut.
Bermula hanya lima orang penganut ajaran tersebut yakni Sumani, Lasimin, Sardi, Kadek, dan yang terakhir Snawi, seiring dengan berjalannya waktu sekarang penganutnya sudah 60 orang. Adapula hari-hari peringatan Kerokhanian Sapta Darma yakni, 27 Desember turunnya wahyu sujud yang diterima oleh Bapak Hardjosopoero, 13 Februari diterimanya wahyu racut, 12 Juli diterimanya wahyu simpul pribadi manusia, wewarah tujuh, serta sesanti, 27 Desember diterimanya wahyu gelar Sri Gutama dan nama agama Sapta Darma, 1 Sura Hari Raya Kerokhanian Sapta Darma, 16 Desember wafatnya Bapak Hardjosopoero, 24 Mei wafatnya Ibu Soewartini Martodiharjo, SH, dan yang terakhir wafatnya Bapak R. Soedono Poerwodihardjo, SH. (Lia)

Komentar